Minggu, 15 Maret 2009

Integritas Berklaster

Pihak yang “berkeinginan” mengembangkan/memperkuat klaster industri di Indonesia rasanya semakin banyak. Setidaknya itu kesan yang saya tangkap dari berbagai kesempatan dalam waktu belakangan ini.
Ternyata perlu waktu sekitar sepuluh tahun untuk sampai kepada semangat seperti saat ini di Indonesia. Mudah-mudahan saja semangat ini terus menguat dan diiringi implementasi yang baik [baca : sungguh-sungguh dan berkelanjutan].
Mengapa ini penting? Banyak konsep/pendekatan pembangunan yang dinilai berhasil di negara lain, kandas dalam implementasi di Indonesia. Saya tidak khawatir ”kegagalan ini” karena ”kemampuan teknis”. Bukan hendak menyombong. Tapi saya kira kemampaun orang Indonesia tidak kalah dari kemampuan orang manapun.
Saya lebih khawatir soal yang lain. Integritas misalnya. Mungkin Anda sering bertemu dengan, atau menghadir acara yang juga dihadiri oleh pejabat (penentu kebijakan), tingkat nasional ataupun daerah, berucap akan melakukan ”ini-itu” – termasuk akan mengembangkan klaster industri - dalam forum-forum resmi. Tetapi dalam realita selanjutnya tidak diikuti dengan tindakan kongkrit yang konsisten. Dari sehimpunan orang yang menaruh minat dalam klaster industri, boleh jadi ada sebagian yang tidak benar-benar hendak berklaster.
Maaf ini, memang jadi terdengar”klise”. Tapi saya ingin mengingatkan saja. Memperkuat klaster industri, tidak cukup diucap. Perlu sikap dan tindakan yang sejalan, dilakukan konsisten dan berkelanjutan. Jika tidak, upaya yang dilakukan hanya akan buang waktu dengan menggunakan istilah mentereng [= ”klaster industri”].
Mengembangkan/memperkuat klaster industri memerlukan penentu kebijakan dan para aktor yang memiliki integritas untuk berklaster. Jika ingin mengembangkan/memperkuat klaster industri, ajaklah mitra yang memiliki integritas . . .

Salam.


Sabtu, 24 Januari 2009

Agent of Change dan Technopreneur

Jumat, 23 Januari 2009 merupakan salah satu hari istimewa saat ada acara silaturahim dengan dua tokoh nasional di BPPT, yaitu Prof. Dr. Emil Salim dan Dr. Ir. Ciputra.
Prof. Emil Salim mengungkapkan bahwa kata kunci pembangunan adalah “ide”. Dia meyakini bahwa BPPT merupakan gudang para orang beride. Karena itu, besar harapannya bahwa BPPT menjadi agent of change di Indonesia dan melihat ke depan.
Pak Emil juga mengingatkan bahwa Indonesia bukan sekedar memiliki kekayaan sumber daya, tetapi memiliki unique tropical resources, sebagai archipelago yang juga merupakan kekayaan yang menjadi dasar bagi local wisdoms.
Pak Emil mengapresiasi cincin Perekayasa Utama Kehormatan yang diberikan oleh Kepala BPPT dan mengaitkannya dengan peran BPPT agar cincin tersebut menjadi tanda sebagai pemberi harapan Indonesia ke 2030.
Sementara itu, pebisnis terkemuka Ciputra yang juga memperoleh cincin Perekayasa Utama Kehormatan mengingatkan bahwa Indonesia baru sampai pada “yang diinginkan” tetapi belum pada “yang menjadi kenyataan.” Pak Ciputra menyampaikan pentingnya kemampuan untuk melaksanakan “bagaimana” agar yang dihasilkan oleh BPPT dan lembaga lain bermanfaat bagi masyarakat. Untuk itu, tegasnya, kita perlu mendidik dan melatih masyarakat untuk mendorong tumbuh-berkembangnya entrepreneur.
Pak Ci mengusulkan agar BPPT menjadi salah satu Technopreneur (Technopreneurship) Center di Indonesia. Diingatkannya pula bahwa ini tidak mudah. Setidaknya butuh waktu 5 – 10 tahun untuk mempersiapkan para tenaga-tenaga muda bersemangat technopreneur demikian.
Pandangan kedua tokoh ini memang sangat kontekstual dengan semangat mengembangkan/memperkuat sistem inovasi dan klaster-klaster industri di Indonesia dalam rangka meningkatkan daya saing dan kemandirian bangsa. Barangkali pandangan dan harapan kedua tokoh nasional ini juga dapat menjadi pemacu reformasi birokrasi di BPPT.
Wallahu alam bissawab . . .
Salam.


Rabu, 14 Januari 2009

Klaster Industri : Google Pagerank, Alexa Traffic, Link Popularity . . . dan Kopi Hitam

Ya benar, saya tidak akan membahas khusus tentang google pagerank seperti yang disinggung di sini atau ini, juga tentang alexa traffic yang di sini, atau pun link popularity.
Mengapa? Ini sudah sering dibahas di banyak blog, saya bukan ahlinya, dan bukan itu maksud utama tulisan ini. Lalu mengapa judulnya seperti itu?
Ini karena ada kaitan dengan tema blog ini : klaster industri. Terkadang saya menggunakan analogi-analogi untuk menjelaskan atau mendiskusikan ”fenomena” tertentu dalam klaster industri ini. Kali ini saya ingin kaitkan dengan istilah-istilah yang sering menjadi ”ukuran keberhasilan” kalangan blogger, seperti pagerank, traffic, popularity, search engine ranking dan sebagainya . . .
Esensi klaster industri terletak bukan hanya pada keberhasilan mencapai ”hasil akhir” tetapi juga proses penciptaan nilai (value creation) dan kekuatan rantai nilai (value chain) dari ”keseluruhan” rantai nilai relevannya [menurut beberapa pakar, himpunan dari banyak entitas tentang ini sering disebut value system]. Bayangkan keserupaan ini dengan konteks nge-blog, termasuk berkaitan dengan kualitas konten blog kita [memiliki nilai kemanfaatan atau tidak] yang kita deliver kepada pembaca, dan bagaimana pembaca/pengunjung ”mengkonsumsi”-nya, serta bagaimana ”jejaring dari blog tersebut” dan ”jejaring pengunjung”-nya terbangun.
Manakala konten suatu blog misalnya, dinilai ”berguna” oleh pengunjung [apapun ukuran kegunaannya tersebut], dikunjungi berulang kali, terbangun jejaring yang saling terkait antarblog atau web, maka pagerank, traffic, popularity dan beberapa ukuran lain ”meningkat.” Lho, bagaimana dengan blog yang berisi junk tetapi ternyata menunjukkan indikator-indikator yang tinggi? Ya tentu itu pencerminan dari ”nilai” (values) yang dianut oleh si penyedia konten blog dan pengunjung blog tersebut, serta ”transaksi” antarmereka. Ini termasuk ”transaki” kunjungan dan ”klik saja,” sekalipun mungkin saja si pengunjung tidak pernah menghiraukan konten dari blog yang dikunjunginya sama sekali.
Klaster industri pun demikian. Mau contoh? Banyak acara hiburan di televisi, sekalipun ”konten”-nya dinilai oleh sebagian pemirsa sangat ”murahan, tidak mendidik, tidak etis, dan sebagainya”. Tapi boleh jadi itu diminati oleh sekelompok pemirsa lain [yang tentu saja memiliki nilai berbeda], menjadi sangat ”laku” sehingga juga menarik berbagai pelaku bisnis lain untuk beriklan atau membangun jejaring, dan pada akhirnya ”berhasil” secara komersial. Jadi, ”nilai komersial” adakalanya [jika tidak seringkali] tak berkaitan dengan ”nilai kultural” yang dianut (misalnya menyangkut benar-salah, baik-buruk, dan sebagainya).
Setidaknya ada tiga hal yang ingin saya catat di sini. Pertama, aktivitas kita [nge-blog, memperoleh manfaat dari blog dan berklaster industri] ditentukan oleh nilai (values) yang kita yakini dan nilai (value) yang ingin kita sampaikan atau kita peroleh. Kedua, perkuatan nilai terjadi jika transaksi antara pihak ”penyedia” dan ”pengguna” mendukung hal tersebut. Transaksi yang saling-menang (win-win / mutually beneficial transactions) yang sebenarnya tidak akan terjadi secara berkelanjutan antara pihak yang berbeda nilai, walaupun bisa terjadi transaksi yang bersifat sesaat. Jadi, klaster industri yang tangguh pun hanya akan terbangun manakala para pihak (pelaku bisnis, konsumen, dan pihak terkait lainnya) adalah pelaku-pelaku yang memiliki niat dan ikhtiar yang baik. Pada akhirnya, citra tentang klaster industri tertentu akan ditentukan oleh bagaimana mereka (para pelaku) menjalankan bisnisnya. Kata orang sono : you are what you are doing . . .
Ketiga, ukuran “keberhasilan” tidaklah bebas nilai. Banyak pebisnis yang sangat kaya secara materi. Tetapi boleh jadi itu diperoleh dari praktik bisnis yang tidak legal atau bertentangan dengan nilai-nilai tertentu yang diyakini masyarakat. Tentu pilihan pelaku bisnis, penentu kebijakan, dan kita semua, klaster industri yang bagaiman yang hendak kita perkuat di daerah atau negara kita.
Ini identik dengan apa yang saya baca di beberapa blog yang membahas seputar konten, pagerank, traffic dan popularity. Konon, banyak blog yang memiliki pagerank, traffic, dan populairty yang sangat tinggi, tetapi mungkin saja tidak mempunyai konten bermanfaat bagi masyarakat/kelompok orang lainnya. Tetapi banyak juga blog dengan indikator-indikator yang tinggi dan sekaligus mempunyai konten yang sangat bermanfaat bagi masyarakat kita. Tentu saja banyak pula blog yang kontennya baik berindikator rendah, dan blog dengan konten "@+?" yang berindikator rendah pula.
Ok, tidak perlu Anda nilai - saya akui blog ini masih“ecek-ecek”, tetapi niatnya ingin berbagi informasi yang mudah-mudahan bermanfaat. Semoga ke depan dapat diperbaiki.
Saya juga belajar pelan-pelan untuk meningkatkan efektivitas tersampaikannya informasi dan melihat “kemunculan” di search engine dengan penggunaan keyword yang sesuai. Konon ini mempengaruhi seberapa besar peluang blog kita “dilirik” oleh search engine dengan menggunakan keyword tertentu. Silahkan jika luang, bantu mengintip mencari di google dengan keywords yang biasanya saya tekankan dalam konten blog terkait, yaitu : sistem inovasi, kebijakan inovasi, klaster industri, atau opini pribadi. He he . . Tentu saja untuk yang terakhir muncul juga blog saya, wong pancen kata kuncinya nama saya . . .
Nah, identik dengan blog, maka indikator demikian pun menjadi umpan balik penting bagi langkah-langkah penguatan klaster industri [sekali lagi tentu kembali kepada nilai-nilai yang ingin kita bangun]. Para pelaku bisnis dan pemerintah serta para pemangku kepentingan lainnya (stakeholders) perlu duduk bersama untuk mengevaluasi, dan kemudian merumuskan serta menyepakati langkah ke depan yang perlu diambil.
Sampai bagian ini, mungkin masih ada yang terheran-heran atau gregetan . . kok ”muter-muter” sih penjelasannya, pakai analogi segala?
Kalau ingin bahasan ”serius” tentang klaster industri, ya silahkan baca literaturnya. Banyak yang dapat diakses di internet. Kemudian, kita dapat berdiskusi lebih lanjut.
Quiz : kira-kira blog ini, dengan blog ini, dan blog ini serta blog ini memiliki keterkaitan dan bermanfaat atau tidak ya? Silahkan dikomentari.
Sementara itu, saya mengerjakan tugas-tugas lain sembari menikmati secangkir kopi hitam . . .

Salam


Minggu, 28 Desember 2008

Pemikiran di Balik Klaster Industri : Bagian Akhir

Pada posting sebelumnya, saya telah membahas 3 (tiga) teori/konsep tentang klaster industri, yaitu: lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), dan persaingan antarindustri (interfirm rivalry).
Mari kita lanjutkan diskusi tentang beberapa pemikiran/konsep di balik klaster industri. Dalam artikel ini, saya sampaikan ringkasan dua konsep terakhir tentang klaster industri, yaitu path dependence dan ”efisiensi kolektif” (collective efficiency).

5. Path Dependence
Model-model polarisasi, core-periphery, dan kausalitas kumulatif semuanya merujuk kepada kecenderungan yang akan lebih memperkuat bagi daerah untuk terus maju atau mundur.
Jika teori neoklasik mengasumsikan constant returns, yang tidak memberi ruang bagi eksternalitas (mendominasi pandangan atas pandangan mainstream pertumbuhan daerah hingga tahun 1980-an), maka teori pertumbuhan baru (new growth theory) mengasumsikan kemungkinan peran increasing returns. Teori pertumbuhan baru memandang bahwa suatu keunggulan komparatif yang terbentuk di suatu daerah atau negara (apakah karena faktor “kebetulan,” distribusi sumber daya alam, ataupun fenomena yang bersifat non perilaku) akan sangat mungkin menguat sebagai akibat dari eksternalitas ekonomi.
Dalam ekonomi internasional yang “baru” pun, faktor increasing returns dalam perdagangan berimplikasi pada kemungkinan pola perkembangan yang sangat terkonsentrasi secara geografis, termasuk perbedaan dalam pendapatan dan penyerapan kerja antar daerah. Eksternalitas yang berkaitan dengan pengetahuan sangat mungkin menjadi fenomena lock-in effect, yang membuat suatu daerah mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu (yang didukung oleh pengetahuan terkait yang berkembang) dibanding dengan daerah lainnya. Bagaimana kemungkinan hal ini terjadi ataupun berlanjut nampaknya lebih merupakan persoalan empiris.
Istilah path dependence dalam hal ini mengacu kepada keadaan umum di mana pilihan teknologi, walaupun nampaknya tidak efisien, inferior, ataupun yang suboptimal, akan mendominasi alternatif/pilihan lainnya dan akan “memperkuat” terus (self-reinforcing), walaupun ini tak berarti bahwa dengan upaya intervensi yang cukup signifikan, hal tersebut tak dapat diubah.
Diskusi tentang papan ketik (keyboard) dengan model QWERTY (sejak penemuan awal hingga era komputer kini), atau industri karpet di Dalton, Georgia (Amerika Serikat) adalah di antara beberapa contoh “klasik” akan hal ini. Walaupun tidak ada lembaga riset tentang teknologi karpet di perguruan tinggi setempat, tak ada produsen karpet dan tidak sejarah pembuat karpet di antara pekerja setempat, namun skala ekonomi dan eksternalitas dinilai telah memperkuatnya dan membuat Dalton menjadi pemimpin dalam produksi karpet. Path dependence dinilai mempunyai implikasi geografis yang jelas karena kenyataannya bisnis (menurut kaidah umum) akan berklaster dalam ruang.
Meyer-Stamer (1998) mengungkapkan, karena teknologi bisa bersifat path dependent, maka lintasan (trajectory) dari perkembangan daerah juga dapat bersifat path dependent. Hal ini nampaknya juga berimplikasi pada pentingnya bagi suatu daerah untuk memiliki kepeloporan (sebagai first-mover) untuk dapat berhasil dalam proses pembangunan.
Beberapa bukti empiris di Tanah Air juga mengindikasikan bahwa daerah-daerah tertentu mempunyai kelebihan dari daerah lainnya dalam bidang tertentu, yang dilandasi oleh pengetahuan/keterampilan spesifik terkait, yang berkembang dari waktu ke waktu. Walaupun, karena proses inovasi yang relatif lambat (misalnya karena relatif rendahnya tingkat pendidikan) dan/atau faktor lainnya, hal ini tak selalu menjadi keunggulan daerah yang terus terpelihara. Daerah lain seringkali dapat “meniru” dan bahkan mengungguli apa yang sebelumnya menjadi kelebihan suatu daerah (yang ditirunya).

6. Efisiensi Kolektif (Collective Efficiency)
Selain kelima hal yang telah disampaikan, Schmitz (1997) adalah di antara yang menelaah faktor/isu “lain” sehubungan dengan klaster industri. Ia menekankan adanya “efisiensi kolektif” (collective efficiency) dari suatu klaster industri yang berkontribusi pada keunggulan daya saing perusahaan. Artinya, perusahaan-perusahan dan organisasi terkait lainnya dapat termotivasi oleh ekspektasi adanya efisiensi kolektif yang dapat/akan diperolehnya jika “bergabung” dalam suatu klaster industri tertentu.
Efisiensi kolektif ini teridiri atas dua aspek dan kombinasi dari keduanya akan beragam antara suatu klaster dengan lainnya dan juga berkembang dari waktu ke waktu, yaitu:
  1. Ekonomi eksternal lokal/setempat (local external economies) : yang berkaitan dengan manfaat ekonomi yang muncul dari terkonsentrasinya perusahaan di suatu tempat/wilayah geografis. Ini bersifat insidental (tidak direncanakan), dan “pasif.”
  2. Tindakan/aktivitas bersama (joint action) : yang berkaitan dengan manfaat yang diperoleh akibat upaya yang dengan sadar direncanakan dan dilakukan bersama oleh anggota klaster. Elemen ini merupakan elemen yang sengaja direncanakan dan adakalanya disebut elemen “aktif.”

Kedua aspek tersebut dapat memberikan dampak, baik yang bersifat statik maupun dinamik, yang akan mempengaruhi bagaimana perkembangan suatu klaster dari waktu ke waktu.

Pembaca yang baik, saya telah selesai menyampaikan keenam teori/konsep utama tentang klaster industri secara sangat ringkas dalam blog ini.
Semoga bermanfaat.
Untuk rujukan dan/atau diskusi lebih lanjut, silahkan tinggalkan pesan dalam kotak komentar atau kunjungi blog opini pribadi saya.

Salam.



Jumat, 19 Desember 2008

Pemikiran di Balik Klaster Industri : Bagian 2

Artikel ini merupakan kelanjutan dari posting sebelumnya. Saya akan melanjutkan diskusi tentang pemikiran/konsep di balik klaster industri dengan menyampaikan secara singkat 3 (tiga) konsep, yaitu lingkungan inovasi, kompetisi kooperatif, dan persaingan/rivalitas.

2. Lingkungan Inovasi
Sebagaimana disampaikan oleh Roelandt dan den Hertog (1999, h.1), dalam perkembangan teori inovasi, perilaku dan aliansi strategis antar perusahaan, dan interaksi serta pertukaran pengetahuan antara perusahaan, lembaga-lembaga riset, perguruan tinggi dan lembaga lainnya telah menjadi “pusat” dari analisis proses inovasi. Inovasi dan peningkatan (upgrading) kapasitas produktif dipandang sebagai suatu proses sosial yang dinamis yang acapkali berhasil berkembang dalam suatu jaringan di mana interaksi intensif terjadi antara pelaku yang “menghasilkan/menyediakan” pengetahuan dan pelaku yang “membeli dan menggunakan” pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, klaster industri sering dinilai sebagai alat kebijakan yang penting yang terkait dengan sistem inovasi nasional.[1] Pandangan Lundvall (1992) tentang sistem inovasi nasional menekankan pentingnya kapabilitas pembelajaran (learning capability) dari perusahaan, lembaga-lembaga dan masyarakat pengetahuan.
Klaster dan jaringan industri akan berperan sebagai mekanisme bagi pertukaran pengetahuan dan informasi, terutama bagi elemen terpentingnya yang justru (dipandang) sebagai bagian yang tak “terkodifikasi (codified)” atau bersifat tacit (lekat dengan orang dan/ atau kelembagaan). Pengetahuan yang tacit semakin penting seiring dengan cepatnya perubahan lingkungan ekonomi global. Pertukaran pengetahuan demikian terjadi antar multipihak, termasuk lembaga non bisnis. Karakteristik lingkungan setempat (daerah) yang mendukung terjadi interaksi multipihak untuk pertukaran pengetahuan dan informasi demikin akan memiliki keunggulan bagi perkembangan inovasi dibanding dengan daerah lainnya yang tidak. Seperti misalnya diungkapkan Saxenian (1994), bahwa perbedaan yang terjadi antara Silicon Valley dan Route 128 adalah akibat faktor modal sosial.
Pandangan lain tentang ini adalah “teori” tentang “lingkungan inovatif (innovative milieu)” Maillat (lihat misalnya Fromhold-Eisebith, 2002). Lingkungan (milieu) lebih merupakan tatanan yang mampu memprakarsai suatu proses sinergis. Pendekatan innovative/creative milieu mengasumsikan suatu endowment (anugerah) kelembagaan daerah yang baik dalam bentuk perguruan tinggi, laboratorium riset, lembaga-lembaga pendukung publik, beberapa perusahaan dan faktor lainnya sebagai prasyarat perlu, berfokus pada kekuatan-kekuatan utama yang mendorong lembaga-lembaga tersebut benar-benar berinteraksi dan terkoordinasi sedemikian sehingga membawa kepada hasil yang positif di daerah, utamanya perusahaan-perusahaan yang inovatif.
Seperti dikutip oleh Fromhold-Eisebith (2002) dari Camagni (1991), GREMI (the Groupe de Recherche Europeen sur les Milieux Innovateurs) mendefinisikan innovative milieu sebagai “sehimpunan atau jaringan komplek terutama dari hubungan-hubungan sosial informal pada suatu area geografis terbatas, yang seringkali menentukan “citra” khusus tertentu di luar (eksternal) dan suatu “perwakilan/representasi” khusus serta rasa kepemilikan (sense of belonging) di dalam (internal), yang meningkatkan kapabilitas inovatif setempat (lokal) melalui proses pembelajaran kolektif dan sinergis. Dalam konsep ini ada tiga elemen utama yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku yang efektif dalam suatu kerangka daerah; kontak sosial yang meningkatkan proses pembelajaran; dan citra dan rasa memiliki.

3. Kompetisi Kooperatif
Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya akan berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan produk ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas kepercayaan, ikatan keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial district di Third Italy. Belakangan, keterikatan sosial (social embeddedness) nampaknya banyak melandasi perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini nampaknya jarang dijumpai di luar literatur industrial district (Bergman dan Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena demikian nampaknya lebih mungkin dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang secara historis telah berkembang lama (turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikut) dan “keterikatan” sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian sangat penting dari komunitas sentra.

4. Persaingan/Rivalitas (Rivalry)
Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang bahwa persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat berkompetisi dari perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi pembelajaran, inovasi dan kewirausahaan, yang akan membentuk pola perkembangan ekonomi daerah.


Bersambung.
Catatan :
[1] Sebagian cenderung menggunakan istilah “sistem nasional inovasi.”

Untuk rujukan dan/atau diskusi lebih lanjut, silahkan kunjungi blog pribadi saya.


Sabtu, 13 Desember 2008

Pemikiran di Balik Klaster Industri

Berkaitan dengan tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, dalam artikel ini saya akan menyampaikan secara singkat beberapa pemikiran/teori yang melatarbelakangi klaster industri. Untuk hal/bahan terkait, silahkan membaca pula beberapa artikel di blog opini pribadi saya . . .

Di antara beberapa hal yang sebenarnya sangat mendasar dalam konsep klaster industri dan membedakan satu konsep dengan konsep lainnya adalah dimensi/aspek rantai nilai (value chain). Dengan pertimbangan dimensi rantai nilai, secara umum terdapat dua pendekatan klaster industri dalam literatur, yaitu:
  1. Beberapa literatur, terutama yang berkembang terlebih dahulu dan lebih menyoroti aspek aglomerasi, merupakan pendekatan berdasarkan pada (menekankan pada) aspek keserupaan (similarity) sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam hal ini misalnya, sentra industri/bisnis, industrial district, dan sejenisnya yang mempunyai “keserupaan” aktivitas bisnis dianggap sebagai suatu klaster industri;
  2. Beberapa literatur yang berkembang dewasa ini, termasuk yang ditekankan oleh Porter, merupakan pendekatan yang lebih menyoroti “keterkaitan” (interdependency) atau rantai nilai sehimpunan aktivitas bisnis. Dalam pandangan ini, sentra industri/ bisnis dan/atau industrial district pada dasarnya merupakan bagian integral dari jalinan rantai nilai sebagai suatu klaster industri.

Pendekatan rantai nilai dinilai “lebih sesuai” terutama dalam konteks peningkatan daya saing, pengembangan sistem inovasi (nasional/daerah), prakarsa pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi atau tema sejenisnya, dan bukan “sekedar” upaya memperoleh “ekonomi aglomerasi” karena terkonsentrasinya aktivitas bisnis yang serupa.
Bahasan dalam blog ini selanjutnya lebih menekankan pendekatan yang kedua. Hal yang penting dari pendekatan kedua ini adalah asumsi bahwa untuk berhasil, perusahaan tidak dapat bekerja sendiri secara terisolasi. Identik dengan ini adalah bahwa inovasi seringkali muncul dari interaksi multi pihak.
Tanpa maksud memperdebatkan pandangan mana yang paling benar, yang tentu saja bukan maksud dari penulisan di blog ini, berikut disajikan secara singkat beberapa teori/konsep yang terkait dengan klaster industri.
Sejauh ini harus diakui bahwa tidaklah mudah untuk menentukan skema pengorganisasian dan keterkaitan antar teori/konsep yang berkembang menyangkut klaster industri. Diskusi tentang teori/konsepsi klaster industri terus berkembang, terutama dewasa ini.
Dalam blog ini, saya sampaikan 6 (enam) “teori” yang melatarbelakangi tentang klaster industri. Bergman dan Feser (1999) mengungkapkan bahwa setidaknya ada 5 (lima) konsep teoritis utama yang mendukung literatur tentang klaster industri daerah, yaitu: external economies, lingkungan inovasi, persaingan atau kompetisi kooperatif (cooperative competition), persaingan antar industri (interfirm rivalry), dan path dependence. Selain itu, pendekatan yang keenam adalah yang dikenal dengan efisiensi kolektif (collective efficiency), yang juga akan saya sampaikan secara singkat.

Kalau saya "sederhanakan," maka keenam teori tersebut adalah seperti ditunjukkan pada gambar berikut. Selanjutnya masing-masing teori tersebut akan saya sampaikan satu per satu.



1. Eksternalitas Ekonomi
Secara umum ada dua pendekatan konseptual dalam literatur untuk memahami manfaat terkonsentrasinya perusahaan dalam ruang geografis tertentu, yaitu:

  1. Teori lokasi industri (yang bertumpu pada karya Weber dan Hoover di tahun 1930-an), di mana manfaat yang diperoleh sering disebut ekonomi aglomerasi, dan
  2. Teori Marshal yang diawali analisis eksternalitas ekonomi dan kehadirannya dalam “kawasan industri (industrial district)

Keduanya lebih menekankan pada eksternalitas statik atau dinamik (dari sumber eksternalitas tersebut), dan tidak memberikan perhatian khusus pada perbedaan antara eksternalitas keuangan atau teknologis.
Teori lokasi industri Weber mengidentifikasi ekonomi aglomerasi, yaitu penghematan biaya yang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan akibat dari meningkatnya konsentrasi secara spasial, sebagai salah satu dari tiga sebab utama pengelompokan spasial atau aglomerasi. Sebab-sebab tersebut merupakan eksternalitas ekonomi yang bersifat internal. Hoover selanjutnya memperkenalkan ekonomi lokalisasi dan urbanisasi. Belakangan penekanan atas keuntungan dari jarak kedekatan (proximity) antar perusahaan, ketersediaan dan penggunaan fasilitas perbaikan yang terspesialisasi, infrastruktur bersama, berkurangnya risiko dan ketidakpastian bagi para wirausahawan, dan informasi yang lebih baik, diidentifikasi sebagai faktor penting dari aglomerasi.
Sementara itu, teori Marshall mendefinisikan eksternalitas ekonomi sebagai penghematan biaya bagi perusahaan karena ukuran atau pertumbuhan output dalam industri secara umum. Eksternalitas ekonomi yang bersifat eksternal ini merupakan eksternalitas spasial, yaitu dampak samping ekonomi dari kedekatan jarak antara para pelaku ekonomi. Bentuknya bisa bersifat positif atau negatif, statik ataupun dinamik, keuangan ataupun teknologis. Faktor statik bersifat dua arah (peningkatan atau pengurangan), sementara yang dinamik adalah yang berkaitan dengan kemajuan teknologi, meningkatnya spesialisasi, dan pembagian kerja yang menyertai atau mendorong pertumbuhan dan pembangunan.
Krugman (1991) menelaah lokalisasi produksi industri dan mengidentifikasi tiga alasan lokalisasi tersebut, yaitu:

  • Penghimpunan pasar tenaga kerja (labour market pooling) : konsentrasi sektoral and geografis menciptakan sehimpunan keterampilan yang terspesialisasi yang menguntungkan baik bagi tenaga kerja maupun perusahaan.
  • Input antara (intermediate inputs) : klaster perusahaan memungkinkan adanya dukungan dari pemasok input dan jasa-jasa yang lebih terspesialisasi.
  • Spillover teknologi (technological spillovers) : “klasterisasi/pengklasteran” memfasilitasi difusi know how dan gagasan secara cepat.

Dalam konteks eksternalitas ekonomi statik, perusahaan umumnya cenderung mengelompok dengan perusahaan lain yang erat dengan kepentingannya. Seperti disampaikan oleh Bergman dan Feser (1999), studi klaster industri sangat berkepentingan dengan eksternalitas ekonomi dinamik, terutama yang berkaitan dengan pembelajaran (learning), inovasi, dan meningkatnya spesialisasi. Dalam konteks ini Marshall merujuk keuntungan dari suatu “kawasan” (district) yang dapat dinikmati perusahaan akibat dari ketersediaan tenaga kerja terampil, kesempatan yang lebih baik untuk berspesialisasi intensif, dan difusi informasi dan pengetahuan yang bersifat spesifik industri (knowledge spillover).

Di balik dinamika tersebut bukanlah semata ukuran “kawasan,” tetapi juga faktor sosial, kultural dan politis, termasuk rasa saling-percaya (trust), kebiasaan bisnis, ikatan sosial, dan pertimbangan kelembagaan lainnya. Analisis Marshall ini memberikan pemahaman awal tentang bagaimana hubungan bisnis pada tingkat mikro dapat mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan daerah, dan berkaitan dengan pemikiran Porter tentang faktor struktur, strategi dan persaingan perusahaan dalam analisisnya.



Bersambung . . .


Rabu, 10 Desember 2008

Apa Itu Klaster Industri ? (2)

Melanjutkan posting sebelumnya, jika saya ringkas sebenarnya yang dimaksud dengan “klaster industri” adalah kelompok industri spesifik yang dihubungkan oleh jaringan mata rantai proses penciptaan/peningkatan nilai tambah. Kelompok industri spesifik tersebut merupakan jaringan dari sehimpunan industri yang saling terkait (biasanya disebut dengan industri inti/core industries – yang menjadi “fokus perhatian,” industri pendukungnya/supporting industries, dan industri terkait/related industries), pihak/lembaga yang menghasilkan pengetahuan/ teknologi (termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian, pengembangan dan rekayasa/litbangyasa), institusi yang berperan menjembatani/bridging institutions (misalnya broker dan konsultan), serta pembeli, yang dihubungkan satu dengan lainnya dalam rantai proses peningkatan nilai (value adding production chain).
Dalam pengertian ini, industri “inti, pendukung, atau terkait” sebenarnya sama pentingnya. Istilah tersebut lebih menunjukkan “peran” setiap industri - bukan menunjukkan yang satu lebih penting dari yang lain.
Di sini, juga perlu dipahami bahwa pelaku dengan beragam skala usaha (kecil, menengah, besar) berperan pada posisi masing-masing yang paling tepat – dan tidak untuk “mendiskriminasikan” dan/atau mengasumsikan praktik-praktik predatory business [saling “mematikan”].
Untuk memudahkan, gambar berikut mengilustrasikan pengertian tentang klaster industri.





Pemahaman bersama tentang klaster industri tertentu dapat membantu persoalan yang dihadapi dan bagaimana para pelaku bisnis beserta pemangku kepentingan (stakeholders) mencari solusi terbaik bersama, baik melalui self-organization maupun intervensi efektif dari pemerintah.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Salam