Jumat, 19 Desember 2008

Pemikiran di Balik Klaster Industri : Bagian 2

Artikel ini merupakan kelanjutan dari posting sebelumnya. Saya akan melanjutkan diskusi tentang pemikiran/konsep di balik klaster industri dengan menyampaikan secara singkat 3 (tiga) konsep, yaitu lingkungan inovasi, kompetisi kooperatif, dan persaingan/rivalitas.

2. Lingkungan Inovasi
Sebagaimana disampaikan oleh Roelandt dan den Hertog (1999, h.1), dalam perkembangan teori inovasi, perilaku dan aliansi strategis antar perusahaan, dan interaksi serta pertukaran pengetahuan antara perusahaan, lembaga-lembaga riset, perguruan tinggi dan lembaga lainnya telah menjadi “pusat” dari analisis proses inovasi. Inovasi dan peningkatan (upgrading) kapasitas produktif dipandang sebagai suatu proses sosial yang dinamis yang acapkali berhasil berkembang dalam suatu jaringan di mana interaksi intensif terjadi antara pelaku yang “menghasilkan/menyediakan” pengetahuan dan pelaku yang “membeli dan menggunakan” pengetahuan.
Sehubungan dengan itu, klaster industri sering dinilai sebagai alat kebijakan yang penting yang terkait dengan sistem inovasi nasional.[1] Pandangan Lundvall (1992) tentang sistem inovasi nasional menekankan pentingnya kapabilitas pembelajaran (learning capability) dari perusahaan, lembaga-lembaga dan masyarakat pengetahuan.
Klaster dan jaringan industri akan berperan sebagai mekanisme bagi pertukaran pengetahuan dan informasi, terutama bagi elemen terpentingnya yang justru (dipandang) sebagai bagian yang tak “terkodifikasi (codified)” atau bersifat tacit (lekat dengan orang dan/ atau kelembagaan). Pengetahuan yang tacit semakin penting seiring dengan cepatnya perubahan lingkungan ekonomi global. Pertukaran pengetahuan demikian terjadi antar multipihak, termasuk lembaga non bisnis. Karakteristik lingkungan setempat (daerah) yang mendukung terjadi interaksi multipihak untuk pertukaran pengetahuan dan informasi demikin akan memiliki keunggulan bagi perkembangan inovasi dibanding dengan daerah lainnya yang tidak. Seperti misalnya diungkapkan Saxenian (1994), bahwa perbedaan yang terjadi antara Silicon Valley dan Route 128 adalah akibat faktor modal sosial.
Pandangan lain tentang ini adalah “teori” tentang “lingkungan inovatif (innovative milieu)” Maillat (lihat misalnya Fromhold-Eisebith, 2002). Lingkungan (milieu) lebih merupakan tatanan yang mampu memprakarsai suatu proses sinergis. Pendekatan innovative/creative milieu mengasumsikan suatu endowment (anugerah) kelembagaan daerah yang baik dalam bentuk perguruan tinggi, laboratorium riset, lembaga-lembaga pendukung publik, beberapa perusahaan dan faktor lainnya sebagai prasyarat perlu, berfokus pada kekuatan-kekuatan utama yang mendorong lembaga-lembaga tersebut benar-benar berinteraksi dan terkoordinasi sedemikian sehingga membawa kepada hasil yang positif di daerah, utamanya perusahaan-perusahaan yang inovatif.
Seperti dikutip oleh Fromhold-Eisebith (2002) dari Camagni (1991), GREMI (the Groupe de Recherche Europeen sur les Milieux Innovateurs) mendefinisikan innovative milieu sebagai “sehimpunan atau jaringan komplek terutama dari hubungan-hubungan sosial informal pada suatu area geografis terbatas, yang seringkali menentukan “citra” khusus tertentu di luar (eksternal) dan suatu “perwakilan/representasi” khusus serta rasa kepemilikan (sense of belonging) di dalam (internal), yang meningkatkan kapabilitas inovatif setempat (lokal) melalui proses pembelajaran kolektif dan sinergis. Dalam konsep ini ada tiga elemen utama yang menandai innovative milieu, yaitu: hubungan pelaku yang efektif dalam suatu kerangka daerah; kontak sosial yang meningkatkan proses pembelajaran; dan citra dan rasa memiliki.

3. Kompetisi Kooperatif
Dalam pandangan ini, perusahaan yang bersaing satu dengan lainnya akan berusaha mencarai cara untuk dapat bekerjasama dalam pengembangan produk ataupun merebut pasar. Pola kerjasama biasanya didasarkan atas kepercayaan, ikatan keluarga, dan tradisi, seperti dijumpai dalam industrial district di Third Italy. Belakangan, keterikatan sosial (social embeddedness) nampaknya banyak melandasi perkembangan konsep tersebut. Fenomena ini nampaknya jarang dijumpai di luar literatur industrial district (Bergman dan Feser, 1999). Di Indonesia pun, fenomena demikian nampaknya lebih mungkin dijumpai di sentra-sentra industri kecil, yang secara historis telah berkembang lama (turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikut) dan “keterikatan” sosial dan kultural antar pelaku telah menjadi bagian sangat penting dari komunitas sentra.

4. Persaingan/Rivalitas (Rivalry)
Serupa dengan tema dalam industrial district, konsep ini memandang bahwa persaingan (karena struktur industri dan/ataupun semangat berkompetisi dari perusahaan dalam industri) akan sangat mempengaruhi pembelajaran, inovasi dan kewirausahaan, yang akan membentuk pola perkembangan ekonomi daerah.


Bersambung.
Catatan :
[1] Sebagian cenderung menggunakan istilah “sistem nasional inovasi.”

Untuk rujukan dan/atau diskusi lebih lanjut, silahkan kunjungi blog pribadi saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar